Jumat, 30 Juli 2010

Thypoid Fever

Demam Tifoid


Definisi

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid dan demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan paratyphus abdominalis.

Epidemiologi

Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui sacara pasti. Di Indonesia demam tifoid jarang ditemukan secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang serumah. Sumber penularan biasnya tidak dapat ditemukan. Ada 2 sumber penularan S.tiphy : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering karier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1010 kuman per gram tunja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik. Karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.tiphy dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya karier. Kuman-kuman S.tiphy berada di dalam batu empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat akibat radang menahun.

Distribusi

Geografi
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik.

Musim
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada kesesuaian paham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam tifoid. Ada penelitian yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada yang menemukan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapat peningkatan pada peralihan antara musim kemarau dan musim hujan.

Jenis Kelamin
Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden demam tifoid antara pria dan wanita.

Umur
Di daerah endemik demam tifoid, insiden tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa yang sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insiden pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah 70-80% pasien berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.

Etiologi

1. S.tiphy
2. S.paratiphy A
3. S.paratiphy B
4. dan S.paratiphy C.

Patogenesis dan Patofisiologi

Kuman S.tiphy masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke dalam usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S.tiphy kemudian menembus ke lamina propia, masuk ke aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini kuman S.tiphy masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.tiphy lain mencai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.tiphy bersarang di plaque Penyeri, limfa, hati dan bagian sistem lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotokdemia. Tetapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala toksemia pada demam tifoid. Endotksin S.tiphy berperan pada patogenesis demam tifoid., karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat S.tiphy berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.tiphy dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosa, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk mendiagnosa klinis demam tifoid.
Dalam Minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, sakit kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, diare, perasaan tidak enak perut, batuk dan epistaksis. Pada permeriksaan fisis hanya ditemukan suhu badan meningkat. Dalam Minggu ke dua gajala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa samnollen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseole jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan leukosit

Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada demam tifoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopenia sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batasan-batasan normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam tifoid.

Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT sering kali meningkat tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.

Biakan darah

Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, antara lain:
a. Tehnik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil pemeriksaan laboratorium bisa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tehnik dan media biakan yang digunakan. Karena jumlah kuman yang berbeda dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman / ml darah, maka untuk keperluan pembiakan, pada pasien dewasa diambil 5 -10 ml darah dan pada anak-anak 2-5 ml darah. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu, darah tersebut harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berada di sisi pasien dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi pada waktu bakteriamia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Pada demam tifoid, biakan darah terhadap S.typhi terutama positif pada Minggu pertama penyakit dan berkurang pada Minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan akan menjadi positif lagi.
c. Vaksinasi di masa lampau’
Vaksinasi terhadap demam tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi di dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, sehingga biakan darah mungkin akan negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif..

Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonela terdapat dalam serum pasien demam tifoid. Juga pada orang yang pernah ketularan salmonela dan para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonela yang sudah di matikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.
Akibat infeksi dari demam tifoid, pasien membuat antibodi, yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman)
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer unji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang selang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien
2. Faktor-faktor teknis

Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien
a. Keadaan umum
Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu Minggu dan mencapai puncaknya sampai Minggu ke lima atau keenam penyakit
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba menghambat pembentukan antibodi, tetapi peneliti-peneliti lain menentang pendapat ini
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demem tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid
Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa
Pada seorang yang divaksinasi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai satu tahun. Sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 sampai 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh salmonela sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji widal positif, walaupun dengan titer rendah. Di daerah endemik tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang sehat.
h. Reaksi anamnestik
Merupakan keadaan di mana terjadi peningkatan aglutinin terhadap S.typhi karena infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid pada seorang yang pernah divaksinasi atau ketularan salmonela di masa lalu.

Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies salmonela dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies salmonela penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonela yang digunakan untuk suspensi antigen
Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonela setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.


Interpretasi Uji Widal

Di kepustakaan tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji widal yang mempunyai nilai diagnostik yang pasti untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan sajam yang hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat, tergantung teknik pemeriksaan. Di daerah endemis demam tifoid di mana penduduknya mungkin terpapar S.typhi, nilai uji widal dari satu spesimen serum hanya mempunyai arti, bila titer pada populasi normal diketahui. Di negara-negara berkembang hanya 24 sampai 60% pasien demam tifoid membentuk antibodi dalam titer yang pemeriksaan ulang memastikan diagnosa. Uji widal negatif atau positif dengan titer yang rendah tidak menyingkirkan diagnosa demam tifoid. Uni widal positif dapat juga disebabkan oleh septikemia karena salmonela lain.

Diagnosis

Bukan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid. Peningkatan titer uji widal empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi O  1:320 atau titer H  1:640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas. Pada beberapa pasien uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang. Walaupun biakan darah positif.

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam:
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra-intestinal:
a. Komplikasi kardiovaskular:
Kegagalan sirkulasi perfer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboplebitis
b. Komplikasi darah
Anemia hemolitik, trombositopenia dan atau dissaminated intravaskular coagulation (DIC) dan sindrom uremia hemolitik
c. Komplikasi paru
Pneumonia, empiema dan peuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistisis
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostisis, spondiolitis dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik:
Delirium, meningismus, meningitis, pelineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna.

Pengobatan

Pengobatan demam tifoid terdiri atas 3 bagian yaitu:
1. Perawatan
2. Diet
3. Obat



Perawatan

Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selam 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus berubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan klien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa usus perlu diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera makan mereka. Karena mereka hanya makan sedikit keadaan umum gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayur dan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien dengan demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam/ bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar atau nasi dengan lauk pauk rendah selulosa.

Obat

Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:
a. Kloramfenikol
b. Tiamfenikol
c. Ko-trimoksazol
d. Ampisilin dan amoksisilin
e. Sefalosporin generasi ketiga
f. Fluorokinolon

a. Kloramfenikol
Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam tifoid. Belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena, sampai hari 7 bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoid turun setelah rata-rata 5 – 6 hari.
c. Ko-trimoksazol (kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol)
Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari. Digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametokazol). Dengan kotrimoksazol demam pada demam tifoid turun pada rata-rata setelah 5 – 6 hari.
d. Ampisilin dan Amoksisilin
Dalam kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75 – 150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampisilin atau amoksisilin demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7 – 9 hari.
e. Sefalosporin Generasi Ketiga
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain sefoperazon, seftriakson dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui pasti.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid. Tetapi dosis pemberian dan lamanya yang optimal belum diketahui dengan pasti.

Kombinasi Obat Antimikroba
Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi obat-obat anti mikroba tersebut di atas memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan dengan obat anti mikroba tunggal, baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam maupun dalam hal menurunkan angka kejadian sekambuhan dan angka kejadian pengekspresian kuman waktu penyembuhan (convalescent excretor rate).

Obat-obat Simtomatik
Antipiretik
Antipiretik tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak banyak gunanya.

Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parental dalam dosis yang menurun secara bertahap selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan realaps.

Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Tidak semua obat antimikroba yang biasanya digunakan untuk pengobatan demam tifoid diberikan pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada trisemester ketiga kehamilan, karena dapat menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin dan grey syndrom pada neonatus.
Tiamfenikol tidak dianjurkan untuk digunakan pada trisemester pertama kehamilan, karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan yang lebih lanjut, tiafenikol dapat diberikan.
Ampisilin, amoksisilin dan sefalosporin generasi ketiga aman untuk wanita hamil dan fetus. Kecuali bila pasien hipersensitif terhadap obat tersebut.
Ko-trikosazol dan flurokinolon tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

Masalah Carrier

Setiap orang yang ketularan salmonela, mengekskresi kuman tersebut dengan feses dan air kemih selama beberapa jangka waktu. Bila tidak terjadi keluhan atau gejala, orang tersebut dinamakan symtomless excretor. Bila ekskresi kuman berlangsung terus orang tersebut dinamakan carrier. Hal serupa terjadi pada pasien demam tifoid. Terbanyak pasien demam tifoid berhenti mengekskresi salmonela dalam 3 bulan. Mereka yang tetap mengekskresi salmonela setelah 3 bulan dinamakan carrier. Kira-kira 3 % pasien demam tifoid masih mengekskresi salmonela lebih dari 1 tahun. Carrier didapatkan terutama di usia menengah, lebih sering pada wanita dibandingkan pria dan jarang pada anak-anak. Orang yang mengekskresi salmonela dalam feses lebih banyak dan lebih berperan pada penularan dari pada orang yang mengekskresi salmonela dari air seni. Pada faecal carrier kuman menetap di kandung empedu yang meradang menahun dan kadang-kadang mengandung batu. Pada urinary carrier, salmonela menetap di kandung kemih, biasanya disebabkan kelainan saluran air kemih yang sudah ada, misalnya pielonefritis kronik atau kelainan ureter.
Carrier dapat dideteksi melalui biakan feses dan air kemih untuk S.typhi dan paratyphi. Karena ekskresi salmonela terjadi intermitten, maka diperlukan 3 sampai 6 biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Perngobatan carrier tifoid merupakan masalah yang sulit. Obat-obat antimikroba yang dapat digunakan adalah ampisilin atau amoksisilin 1 g tiap 6 jam, oral selama 4 minggu. Kadang-kadang diperlukan kolesistektomi bersamaan dengan pemberian ampisilin. Pengobatan kadang-kadang gagal karena salmonela dapat bersarang dalam saluran empedu intrahepatik. Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa flurokinolon oral dapat mengeliminasi salmonela dan tinja.

Prognosis
`
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonela, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak sekitar 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar