Jumat, 30 Juli 2010

Thypoid Fever

Demam Tifoid


Definisi

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid dan demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan paratyphus abdominalis.

Epidemiologi

Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui sacara pasti. Di Indonesia demam tifoid jarang ditemukan secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang serumah. Sumber penularan biasnya tidak dapat ditemukan. Ada 2 sumber penularan S.tiphy : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering karier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1010 kuman per gram tunja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik. Karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.tiphy dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya karier. Kuman-kuman S.tiphy berada di dalam batu empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat akibat radang menahun.

Distribusi

Geografi
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik.

Musim
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada kesesuaian paham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam tifoid. Ada penelitian yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada yang menemukan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapat peningkatan pada peralihan antara musim kemarau dan musim hujan.

Jenis Kelamin
Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden demam tifoid antara pria dan wanita.

Umur
Di daerah endemik demam tifoid, insiden tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa yang sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insiden pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah 70-80% pasien berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.

Etiologi

1. S.tiphy
2. S.paratiphy A
3. S.paratiphy B
4. dan S.paratiphy C.

Patogenesis dan Patofisiologi

Kuman S.tiphy masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke dalam usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S.tiphy kemudian menembus ke lamina propia, masuk ke aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini kuman S.tiphy masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.tiphy lain mencai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.tiphy bersarang di plaque Penyeri, limfa, hati dan bagian sistem lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotokdemia. Tetapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala toksemia pada demam tifoid. Endotksin S.tiphy berperan pada patogenesis demam tifoid., karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat S.tiphy berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.tiphy dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosa, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk mendiagnosa klinis demam tifoid.
Dalam Minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, sakit kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, diare, perasaan tidak enak perut, batuk dan epistaksis. Pada permeriksaan fisis hanya ditemukan suhu badan meningkat. Dalam Minggu ke dua gajala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa samnollen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseole jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan leukosit

Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada demam tifoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopenia sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batasan-batasan normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam tifoid.

Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT sering kali meningkat tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.

Biakan darah

Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, antara lain:
a. Tehnik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil pemeriksaan laboratorium bisa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tehnik dan media biakan yang digunakan. Karena jumlah kuman yang berbeda dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman / ml darah, maka untuk keperluan pembiakan, pada pasien dewasa diambil 5 -10 ml darah dan pada anak-anak 2-5 ml darah. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu, darah tersebut harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berada di sisi pasien dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi pada waktu bakteriamia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Pada demam tifoid, biakan darah terhadap S.typhi terutama positif pada Minggu pertama penyakit dan berkurang pada Minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan akan menjadi positif lagi.
c. Vaksinasi di masa lampau’
Vaksinasi terhadap demam tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi di dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, sehingga biakan darah mungkin akan negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif..

Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonela terdapat dalam serum pasien demam tifoid. Juga pada orang yang pernah ketularan salmonela dan para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonela yang sudah di matikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.
Akibat infeksi dari demam tifoid, pasien membuat antibodi, yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman)
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer unji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang selang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien
2. Faktor-faktor teknis

Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien
a. Keadaan umum
Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu Minggu dan mencapai puncaknya sampai Minggu ke lima atau keenam penyakit
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba menghambat pembentukan antibodi, tetapi peneliti-peneliti lain menentang pendapat ini
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demem tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid
Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa
Pada seorang yang divaksinasi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai satu tahun. Sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 sampai 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh salmonela sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji widal positif, walaupun dengan titer rendah. Di daerah endemik tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang sehat.
h. Reaksi anamnestik
Merupakan keadaan di mana terjadi peningkatan aglutinin terhadap S.typhi karena infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid pada seorang yang pernah divaksinasi atau ketularan salmonela di masa lalu.

Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies salmonela dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies salmonela penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonela yang digunakan untuk suspensi antigen
Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonela setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.


Interpretasi Uji Widal

Di kepustakaan tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji widal yang mempunyai nilai diagnostik yang pasti untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan sajam yang hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat, tergantung teknik pemeriksaan. Di daerah endemis demam tifoid di mana penduduknya mungkin terpapar S.typhi, nilai uji widal dari satu spesimen serum hanya mempunyai arti, bila titer pada populasi normal diketahui. Di negara-negara berkembang hanya 24 sampai 60% pasien demam tifoid membentuk antibodi dalam titer yang pemeriksaan ulang memastikan diagnosa. Uji widal negatif atau positif dengan titer yang rendah tidak menyingkirkan diagnosa demam tifoid. Uni widal positif dapat juga disebabkan oleh septikemia karena salmonela lain.

Diagnosis

Bukan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid. Peningkatan titer uji widal empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi O  1:320 atau titer H  1:640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas. Pada beberapa pasien uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang. Walaupun biakan darah positif.

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam:
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra-intestinal:
a. Komplikasi kardiovaskular:
Kegagalan sirkulasi perfer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboplebitis
b. Komplikasi darah
Anemia hemolitik, trombositopenia dan atau dissaminated intravaskular coagulation (DIC) dan sindrom uremia hemolitik
c. Komplikasi paru
Pneumonia, empiema dan peuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistisis
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostisis, spondiolitis dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik:
Delirium, meningismus, meningitis, pelineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna.

Pengobatan

Pengobatan demam tifoid terdiri atas 3 bagian yaitu:
1. Perawatan
2. Diet
3. Obat



Perawatan

Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selam 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus berubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan klien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa usus perlu diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera makan mereka. Karena mereka hanya makan sedikit keadaan umum gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayur dan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien dengan demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam/ bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar atau nasi dengan lauk pauk rendah selulosa.

Obat

Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:
a. Kloramfenikol
b. Tiamfenikol
c. Ko-trimoksazol
d. Ampisilin dan amoksisilin
e. Sefalosporin generasi ketiga
f. Fluorokinolon

a. Kloramfenikol
Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam tifoid. Belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena, sampai hari 7 bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoid turun setelah rata-rata 5 – 6 hari.
c. Ko-trimoksazol (kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol)
Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari. Digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametokazol). Dengan kotrimoksazol demam pada demam tifoid turun pada rata-rata setelah 5 – 6 hari.
d. Ampisilin dan Amoksisilin
Dalam kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75 – 150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampisilin atau amoksisilin demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7 – 9 hari.
e. Sefalosporin Generasi Ketiga
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain sefoperazon, seftriakson dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui pasti.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid. Tetapi dosis pemberian dan lamanya yang optimal belum diketahui dengan pasti.

Kombinasi Obat Antimikroba
Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi obat-obat anti mikroba tersebut di atas memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan dengan obat anti mikroba tunggal, baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam maupun dalam hal menurunkan angka kejadian sekambuhan dan angka kejadian pengekspresian kuman waktu penyembuhan (convalescent excretor rate).

Obat-obat Simtomatik
Antipiretik
Antipiretik tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak banyak gunanya.

Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parental dalam dosis yang menurun secara bertahap selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan realaps.

Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Tidak semua obat antimikroba yang biasanya digunakan untuk pengobatan demam tifoid diberikan pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada trisemester ketiga kehamilan, karena dapat menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin dan grey syndrom pada neonatus.
Tiamfenikol tidak dianjurkan untuk digunakan pada trisemester pertama kehamilan, karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan yang lebih lanjut, tiafenikol dapat diberikan.
Ampisilin, amoksisilin dan sefalosporin generasi ketiga aman untuk wanita hamil dan fetus. Kecuali bila pasien hipersensitif terhadap obat tersebut.
Ko-trikosazol dan flurokinolon tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

Masalah Carrier

Setiap orang yang ketularan salmonela, mengekskresi kuman tersebut dengan feses dan air kemih selama beberapa jangka waktu. Bila tidak terjadi keluhan atau gejala, orang tersebut dinamakan symtomless excretor. Bila ekskresi kuman berlangsung terus orang tersebut dinamakan carrier. Hal serupa terjadi pada pasien demam tifoid. Terbanyak pasien demam tifoid berhenti mengekskresi salmonela dalam 3 bulan. Mereka yang tetap mengekskresi salmonela setelah 3 bulan dinamakan carrier. Kira-kira 3 % pasien demam tifoid masih mengekskresi salmonela lebih dari 1 tahun. Carrier didapatkan terutama di usia menengah, lebih sering pada wanita dibandingkan pria dan jarang pada anak-anak. Orang yang mengekskresi salmonela dalam feses lebih banyak dan lebih berperan pada penularan dari pada orang yang mengekskresi salmonela dari air seni. Pada faecal carrier kuman menetap di kandung empedu yang meradang menahun dan kadang-kadang mengandung batu. Pada urinary carrier, salmonela menetap di kandung kemih, biasanya disebabkan kelainan saluran air kemih yang sudah ada, misalnya pielonefritis kronik atau kelainan ureter.
Carrier dapat dideteksi melalui biakan feses dan air kemih untuk S.typhi dan paratyphi. Karena ekskresi salmonela terjadi intermitten, maka diperlukan 3 sampai 6 biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Perngobatan carrier tifoid merupakan masalah yang sulit. Obat-obat antimikroba yang dapat digunakan adalah ampisilin atau amoksisilin 1 g tiap 6 jam, oral selama 4 minggu. Kadang-kadang diperlukan kolesistektomi bersamaan dengan pemberian ampisilin. Pengobatan kadang-kadang gagal karena salmonela dapat bersarang dalam saluran empedu intrahepatik. Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa flurokinolon oral dapat mengeliminasi salmonela dan tinja.

Prognosis
`
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonela, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak sekitar 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.

Kelainan Ginjal Bawaan dan Saluran Kemih Bawaan

Kelainan Ginjal & Saluran Kemih Bawaan

DEFINISI
Kelainan bawaan pada ginjal dan saluran kemiih lebih sering ditemukan daripada kelainan bawaan pada bagian tubuh lainnya.
Kelainan bawaan yang menyumbat aliran air kemih menyebabkan air kemih tertahan dan hal ini bisa menyebabkan infeksi atau pembentukan batu ginjal.
Suatu kelainan bawaan pada sistem kemih-kelamin bisa menyebabkan gangguan fungsi ginjal atau menyebabkan kelainan fungsi seksual maupun kemandulan di kemudian hari.


KELAINAN GINJAL & URETER

Pada saat pembentukan ginjal bisa terjadi sejumlah kelainan:
• Ektopia : ginjal tidak terletak pada tempat yang seharusnya
• Malrotasi : ginjal berada pada posisi yang salah
• Horseshoe kidney : kedua ginjal bersatu
• Agenesis ginjal : ginjal tidak terbentuk
• Sindroma Potter : kedua ginjal tidak terbentuk
• Penyakit ginjal polikista : ginjal mengandung banyak kista.

Kelainan yang mungkin ditemukan pada ureter (saluran kemih yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih):
• Ekstra ureter
• Misplaced ureter
• Ureter yang melebar atau menyempit.
Air kemih bisa mengalir balik dari kandung kemih ke dalam ureter yang abnormal, sehingga mudah terjadi infeksi ginjal (pielonefritis).
Ureter yang menyempit bisa menghalangi aliran air kemih dari ginjal ke kandung kemih dan bisa menyebabkan ginjal membesar (hidronefrosis) serta menyebabkan kerusakan ginjal.

Horseshoe Kidney

Pada horseshoe kidney, ginjal menyatu pada bagian bawahnya sehingga bentuknya menyerupai tapal kuda.
Kelainan ini tidak menimbulkan gejala atau masalah dan seringkali tidak terdeteksi. Ginjal tapal kuda mungkin ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan rontgen atau USG di daerah ginjal yang dilakukan untuk keperluan lain.

Pada beberapa kasus, ginjal tapal kuda bisa menyebabkan gangguan pada pengaliran air kemih ke dalam ureter. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya resiko infeksi ginjal dan kerusakan fungsi ginjal.
Jika timbul gangguan, maka keadaan ini bisa diperbaiki melalui pembedahan.



Ginjal Agenesis

Sekitar 1 diantara 1.500 bayi terlahir hanya dengan satu ginjal. Ginjal ini biasanya lebih besar dari normal.
Dengan satu ginjal, seseorang masih bisa menjalani kehidupan yang normal. Tetapi ada 3 hal penting yang dapat membantu menjamin kesehatan ginjal:
- Katakan pada setiap dokter yang anda kunjungi bahwa anda hanya memiliki satu ginjal.
- Untuk mengurangi kemungkinan terbentuknya batu ginjal, minum air putih sebanyak mungkin. Batu dapat merusak ginjal.
- Lakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.

Sindroma Potter

Sindroma Potter dan Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit).

Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir, dimana cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari dinding rahim menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang di dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada posisi abnormal.
Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru (paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal ginjal bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal bilateral) maupun karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal gagal berfungsi.
Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban (sebagai air kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari sindroma Potter.

Gejalanya berupa:
- Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang)
- Tidak terbentuk air kemih
- Gawat pernafasan,

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya fenotip Potter, oligohidramnion, paru-paru yang kaku dan kelainan sistem saluran kemih-kelamin.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
- USG ibu (menunjukkan oligohidramnion serta tidak adanya ginjal janin atau ginjal yang sangat abnormal)
- Rontgen perut bayi
- Rontgen paru-paru bayi
- Analisa gas darah.

Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki penyumbatan pada saluran kemih.


KELAINAN KANDUNG KEMIH

Sejumlah kelainan bawaan yang bisa ditemukan pada kandung kemih:
• Ekstrofi : kandung kemih tidak terbentuk secara sempurna sehingga terbuka ke permukaan perut.
• Kelainan pada dinding kandung kemih, yaitu adanya kantung divertikula) yang memungkinkan aliran kemih terhenti dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi saluran kemih.
• Penyempitan pada lubang kandung kemih yang tersambung ke uretra bisa menyebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna. Aliran kemih menjadi lambat dan bisa terjadi infeksi.
Kelainan kandung kemih bisa diatasi dengan pembedahan.


KELAINAN URETRA

Uretra adalah saluran yang mengalirkan air kemih keluar tubuh. Uretra bisa abnormal atau tidak terbentuk.
Pada anak laki-laki bisa ditemukan kelainan berikut:
• Hipospadia : lubang uretra berada pada penis bagian bawah
• Epispadia : uretra pada penis terbuka dan tidak tertutup seperti halnya sebuah tabung.

Baik pada anak perempuan maupun anak laki-laki, penyempitan uretra bisa menyumbat aliran air kemih.
Kelainan pada uretra bisa diperbaiki melalui pembedahan.

Hipospadia

Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis.

Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir.
Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.

Gejalanya adalah:
- Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah atau di dasar penis
- Penis melengkung ke bawah
- Penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan penis
- Jika berkemih, anak harus duduk.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik.
Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.

Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan nanti.
Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18 bulan.

Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual.



Epispadia

Epispadia adalah suatu kelainan bawaan pada bayi laki-laki, dimana lubang uretra terdapat di bagian punggung penis atau uretra tidak berbentuk tabung, tetapi terbuka.

Terdapat 3 jenis epispadia:
• Lubang uretra terdapat di puncak kepala penis
• Seluruh uretra terbuka di sepanjang penis
• Seluruh uretra terbuka dan lubang kandung kemih terdapat pada dinding perut.

Gejalanya adalah:
- Lubang uretra terdapat di punggung penis
- Lubang uretra terdapat di sepanjang punggung penis.

Untuk menilai beratnya epispadia, dilakukan pemeriksaan berikut:
- Radiologis (IVP)
- USG sistem kemih-kelamin.
Epispadia biasanya diperbaiki melalui pembedahan.

Rubella Kongenital

Rubella Kongenitalis
DEFINISI
Rubella Kongenitalis adalah suatu infeksi oleh virus penyebab rubella (campak Jerman) yang terjadi ketika bayi berada dalam kandungan dan bisa menyebabkan cacat bawaan.

Istilah Jerman tidak ada hubungannya dengan negara Jerman, tetapi kemungkinan berasal dari bahasa Perancis kuno "germain" dan bahasa Latin "germanus", yang artinya adalah mirip atau serupa.

Sebelum ditemukan vaksin rubella pada tahun 1969, wabah rubella terjadi setiap 6-9 tahun. Wabah terutama menyerang anak-anak yang berusia 5-9 tahun dan dewasa, tetapi ada juga kasus yang menyebabkan rubella kongenitalis.
Saat ini, setelah pemakaian vaksin rubella, kasus rubella kongenitalis telah menurun secara dramatis dan hampir jarang terjadi.
PENYEBAB
Penyebabnya adalah virus rubella, yang bisa ditemukan di tenggorokan, darah dan tinja penderita.

Penularan virus terjadi melalui percikan ludah dan cairan dari hidung dan tenggorokan. Tetapi penularan juga bisa terjadi melalui darah dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya.
Seorang penderita bisa menularkan virus ini 1 minggu sebelum timbulnya ruam kulit sampai 1 minggu setelah ruam kulit menghilang.

Pada anak-anak biasanya penyakit ini bersifat ringan, tetapi pada wanita hamil bisa menyebabkan rubella kongenitalis pada janin yang berada dalam kandungannya.
Rubella kongenitalis terjadi akibat perusakan oleh virus pada saat janin sedang berkembang. Saat yang paling kritis adalah trimester pertama. Setelah usia kehamilan mencapai lebih dari 4 bulan, infeksi rubella pada ibu tampaknya tidak membahayakan janin yang sedang berkembang.

Seorang ibu hamil yang tidak mendapatkan imunisasi rubella memiliki resiko menderita nfeksi rubella dan menularkannya kepada janinnya.
GEJALA
Gejalanya berupa:
- ruam kulit (purpura atau peteki)
- berat badan lahir yang rendah
- mikrosefalus (kepala yang kecil)
- ubun-ubun menonjol
- lemas
- rewel
- gangguan pendengaran
- tuli
- kejang
- ketegangan otot abnormal
- kornea keruh atau pupilnya putih (leukokoria)
- keterbelakangan motorik
- keterbelakangan mental
- kelainan pada garis telapak tangan (simian crease).

Kelainan jantung bawaannya berupa:
- PDA (patent ductus arteriosus)
- Stenosis arteri pulmoner
- Koartasio aorta dan kelainan aorta lainnya
- Kelainan septum ventrikel (ventricular septal defect, VSD)
- Nekrosis otot jantung.




DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan adanya riwayat infeksi rubella pada ibu selama hamil (terutama pada trimester pertama).
Pemeriksaan mata menunjukkan:
- katarak
- glaukoma
- retinitis .

Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
- Pemeriksaan air kemih, lendir hidung-tenggorokan dan cairan serebrospinal (untuk menemukan virus)
- Skrining TORCH positif
- Kadar IgM (IgM khusus untuk rubella).
PENGOBATAN
Perawatan yang dilakukan tergantung kepada organ yang terkena:
• Gangguan pendengaran diatasi dengan pemakaian alat bantu dengar, terapi wicara dan memasukkan anak ke sekolah khusus
• Lesi jantung diatasi dengan pembedahan
• Gangguan penglihatan sebaiknya diobati agar penglihatan anak berada pada ketajaman yang terbaik
• Jika keterbelakangan mentalnya sangat berat, mungkin anak perlu dimasukkan ke institusi khusus.
PENCEGAHAN
Untuk mencegah rubella kongenitalis, diberikan vaksinasi rubella sebelum hamil. Vaksin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil.
Semua wanita muda yang belum pernah menderita rubella harus divaksinasi dan baru boleh hamil 3 bulan setelah menjalani vaksinasi.

Imunisasi Pada Anak

Imunisasi
DEFINISI
Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu.

Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit.
Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.

Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul.
Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.


Imunisasi BCG

Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC).
BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. BCG ulangan tidak dianjurkan karena keberhasilannya diragukan.
Vaksin disuntikkan secara intrakutan pada lengan atas, untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,05 mL dan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,1 mL.

Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis.

Kontraindikasi untuk vaksinasi BCG adalah penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita leukemia, penderita yang menjalani pengobatan steroid jangka panjang, penderita infeksi HIV).

Reaksi yang mungkin terjadi:
1. Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan ini berubah menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut.
2. Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa disertai nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan.
Komplikasi yang mungkin timbul adalah:
• Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena penyuntikan yang terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk mempercepat penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan abses dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat.
• Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.


Imunisasi DPT

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus.
Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal.
Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan dapat menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat bernafas, makan atau minum. Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti pneumonia, kejang dan kerusakan otak.
Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada rahang serta kejang

Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur kurang dari 7 tahun.
Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha.

Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun).
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT.

Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin Td pada usia 14-16 tahun kemudian setiap 10 tahun (karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun, setelah 10 tahun perlu diberikan booster).
Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memperoleh perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.

DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin.

Pada kurang dari 1% penyuntikan, DTP menyebabkan komplikasi berikut:
- demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius)
- kejang
- kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)
- syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).

Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.
Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.

1-2 hari setelah mendapatkan suntikan DPT, mungkin akan terjadi demam ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat penyuntikan.
Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen).
Untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan.


Imunisasi DT

Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus.
Vaksin DT dibuat untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima imunisasi difteri dan tetanus.

Cara pemberian imunisasi dasar dan ulangan sama dengan imunisasi DPT.
Vaksin disuntikkan pada otot lengan atau paha sebanyak 0,5 mL.

Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada anak yang sedang sakit berat atau menderita demam tinggi.
Efek samping yang mungkin terjadi adalah demam ringan dan pembengkakan lokal di tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung selama 1-2 hari.


Imunisasi TT

Imunisasi tetanus (TT, tetanus toksoid) memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tetanus. ATS (Anti Tetanus Serum) juga dapat digunakan untuk pencegahan (imunisasi pasif) maupun pengobatan penyakit tetanus.

Kepada ibu hamil, imunisasi TT diberikan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat kehamilan berumur 7 bulan dan 8 bulan.
Vaksin ini disuntikkan pada otot paha atau lengan sebanyak 0,5 mL.

Efek samping dari tetanus toksoid adalah reaksi lokal pada tempat penyuntikan, yaitu berupa kemerahan, pembengkakan dan rasa nyeri.




Imunisasi Polio

Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis.
Polio bisa menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan/tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan dan otot untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian.

Terdapat 2 macam vaksin polio:
• IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan
• OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan.
Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio.

Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu.
Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun).

Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula.
Kontra indikasi pemberian vaksin polio:
- Diare berat
- Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid)
- Kehamilan.
Efek samping yang mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.

Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibobi sampai pada tingkat yang tertingiu.
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi dasar, kepada orang dewasa tidak perlu dilakukan pemberian booster secara rutin, kecuali jika dia hendak bepergian ke daerah dimana polio masih banyak ditemukan.
Kepada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio dan perlu menjalani imunisasi, sebaiknya hanya diberikan IPV.

Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV.
Kepada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia, kanker, limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya.

IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita diare.
Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai mereka benar-benar pulih.
IPV bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung hanya selama beberapa hari.


Imunisasi Campak

Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (tampek).
Imunisasi campak diberikan sebanyak 1 dosis pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih. Pada kejadian luar biasa dapat diberikan pada umur 6 bulan dan diulangi 6 bulan kemudian.
Vaksin disuntikkan secara subkutan dalam sebanyak 0,5 mL.

Kontra indikasi pemberian vaksin campak:
- infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38°Celsius
- gangguan sistem kekebalan
- pemakaian obat imunosupresan
- alergi terhadap protein telur
- hipersensitivitas terhadap kanamisin dan eritromisin
- wanita hamil.

Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare, konjungtivitis dan gejala kataral serta ensefalitis (jarang).


Imunisasi MMR

Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap campak, gondongan dan campak Jerman dan disuntikkan sebanyak 2 kali.
Campak menyebabkan demam, ruam kulit, batuk, hidung meler dan mata berair. Campak juga menyebabkan infeksi telinga dan pneumonia. Campak juga bisa menyebabkan masalah yang lebih serius, seperti pembengkakan otak dan bahkan kematian.
Gondongan menyebabkan demam, sakit kepala dan pembengkakan pada salah satu maupun kedua kelenjar liur utama yang disertai nyeri. Gondongan bisa menyebabkan meningitis (infeksi pada selaput otak dan korda spinalis) dan pembengkakan otak. Kadang gondongan juga menyebabkan pembengkakan pada buah zakar sehingga terjadi kemandulan.
Campak Jerman (rubella) menyebabkan demam ringan, ruam kulit dan pembengkakan kelenjar getah bening leher. Rubella juga bisa menyebakban pembengkakan otak atau gangguan perdarahan.

Jika seorang wanita hamil menderita rubella, bisa terjadi keguguran atau kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkannya (buta atau tuli).
Terdapat dugaan bahwa vaksin MMR bisa menyebabkan autisme, tetapi penelitian membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara autisme dengan pemberian vaksin MMR.

Vaksin MMR adalah vaksin 3-in-1 yang melindungi anak terhadap campak, gondongan dan campak Jerman.
Vaksin tunggal untuk setiap komponen MMR hanya digunakan pada keadaan tertentu, misalnya jika dianggap perlu memberikan imunisasi kepada bayi yang berumur 9-12 bulan.

Suntikan pertama diberikan pada saat anak berumur 12-15 bulan. Suntikan pertama mungkin tidak memberikan kekebalan seumur hidup yang adekuat, karena itu diberikan suntikan kedua pada saat anak berumur 4-6 tahun (sebelum masuk SD) atau pada saat anak berumur 11-13 tahun (sebelum masuk SMP).

Imunisasi MMR juga diberikan kepada orang dewasa yang berumur 18 tahun atau lebih atau lahir sesudah tahun 1956 dan tidak yakin akan status imunisasinya atau baru menerima 1 kali suntikan MMR sebelum masuk SD.
Dewasa yang lahir pada tahun 1956 atau sebelum tahun 1956, diduga telah memiliki kekebalan karena banyak dari mereka yang telah menderita penyakit tersebut pada masa kanak-kanak.

Pada 90-98% orang yang menerimanya, suntikan MMR akan memberikan perlindungan seumur hidup terhadap campak, campak Jerman dan gondongan.
Suntikan kedua diberikan untuk memberikan perlindungan adekuat yang tidak dapat dipenuhi oleh suntikan pertama.

Efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh masing-masing komponen vaksin:
• Komponen campak
1-2 minggu setelah menjalani imunisasi, mungkin akan timbul ruam kulit. Hal ini terjadi pada sekitar 5% anak-anak yang menerima suntikan MMR.
Demam 39,5° Celsius atau lebih tanpa gejala lainnya bisa terjadi pada 5-15% anak yang menerima suntikan MMR. Demam ini biasanya muncul dalam waktu 1-2 minggu setelah disuntik dan berlangsung hanya selama 1-2 hari.
Efek samping tersebut jarang terjadi pada suntikan MMR kedua.
• Komponen gondongan
Pembengkakan ringan pada kelenjar di pipi dan dan dibawah rahang, berlangsung selama beberapa hari dan terjadi dalam waktu 1-2 minggu setelah menerima suntikan MMR.
• Komponen campak Jerman
Pembengkakan kelenjar getah bening dan atau ruam kulit yang berlangsung selama 1-3 hari, timbul dalam waktu 1-2 mingu setelah menerima suntikan MMR. Hal ini terjadi pada 14-15% anak yang mendapat suntikan MMR.
Nyeri atau kekakuan sendi yang ringan selama beberapa hari, timbul dalam waktu 1-3 minggu setelah menerima suntikan MMR. Hal ini hanya ditemukan pada 1% anak-anak yang menerima suntikan MMR, tetapi terjadi pada 25% orang dewasa yang menerima suntikan MMR. Kadang nyeri/kekakuan sendi ini terus berlangsung selama beberapa bulan (hilang-timbul).
Artritis (pembengkakan sendi disertai nyeri) berlangsung selama 1 minggu dan terjadi pada kurang dari 1% anak-anak tetapi ditemukan pada 10% orang dewasa yang menerima suntikan MMR. Jarang terjadi kerusakan sendi akibat artritis ini.
Nyeri atau mati rasa pada tangan atau kaki selama beberapa hari lebih sering ditemukan pada orang dewasa.
Meskipun jarang, setelah menerima suntikan MMR, anak-anak yang berumur dibawah 6 tahun bisa mengalami aktivitas kejang (misalnya kedutan). Hal ini biasanya terjadi dalam waktu 1-2 minggu setelah suntikan diberikan dan biasanya berhubungan dengan demam tinggi.

Keuntungan dari vaksin MMR lebih besar jika dibandingkan dengan efek samping yang ditimbulkannya. Campak, gondongan dan campak Jerman merupakan penyakit yang bisa menimbulkan komplikasi yang sangat serius.

Jika anak sakit, imunisasi sebaiknya ditunda sampai anak pulih.
Imunisasi MMR sebaiknya tidak diberikan kepada:
- anak yang alergi terhadap telur, gelatin atau antibiotik neomisin
- anak yang 3 bulan yang lalu menerima gamma globulin
- anak yang mengalami gangguan kekebalan tubuh akibat kanker, leukemia, limfoma maupun akibat obat prednison, steroid, kemoterapi, terapi penyinaran atau obati imunosupresan.
- wanita hamil atau wanita yang 3 bulan kemudian hamil.




Imunisasi Hib

Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b.
Organisme ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan berat yang bisa menyebabkan anak tersedak.

Vaksin Hib diberikan sebanyak 3 kali suntikan, biasanya pada saat anak berumur 2, 4 dan 6 bulan.


Imunisasi Varisella

Imunisasi varisella memberikan perlindungan terhadap cacar air.
Cacar air ditandai dengan ruam kulit yang membentuk lepuhan, kemudian secara perlahan mengering dan membentuk keropeng yang akan mengelupas.

Setiap anak yang berumur 12-18 bulan dan belum pernah menderita cacar air dianjurkan untuk menjalani imunisasi varisella.
Anak-anak yang mendapatkan suntikan varisella sebelum berumur 13 tahun hanya memerlukan 1 dosis vaksin.
Kepada anak-anak yang berumur 13 tahun atau lebih, yang belum pernah mendapatkan vaksinasi varisella dan belum pernah menderita cacar air, sebaiknya diberikan 2 dosis vaksin dengan selang waktu 4-8 minggu.

Cacar air disebabkan oleh virus varicella-zoster dan sangat menular.
Biasanya infeksi bersifat ringan dan tidak berakibat fatal; tetapi pada sejumlah kasus terjadi penyakit yang sangat serius sehingga penderitanya harus dirawat di rumah sakit dan beberapa diantaranya meninggal.
Cacar air pada orang dewasa cenderung menimbulkan komplikasi yang lebih serius.

Vaksin ini 90-100% efektif mencegah terjadinya cacar air. Terdapat sejumlah kecil orang yang menderita cacar air meskipun telah mendapatkan suntikan varisella; tetapi kasusnya biasanya ringan, hanya menimbulkan beberapa lepuhan (kasus yang komplit biasanya menimbulkan 250-500 lepuhan yang terasa gatal) dan masa pemulihannya biasanya lebih cepat.
Vaksin varisella memberikan kekebalan jangka panjang, diperkirakan selama 10-20 tahun, mungkin juga seumur hidup.

Efek samping dari vaksin varisella biasanya ringan, yaitu berupa:
- demam
- nyeri dan pembengkakan di tempat penyuntikan
- ruam cacar air yang terlokalisir di tempat penyuntikan.
Efek samping yang lebih berat adalah:
- kejang demam, yang bisa terjadi dalam waktu 1-6 minggu setelah penyuntikan
- pneumonia
- reaksi alergi sejati (anafilaksis), yang bisa menyebabkan gangguan pernafasan, kaligata, bersin, denyut jantung yang cepat, pusing dan perubahan perilaku. Hal ini bisa terjadi dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam setelah suntikan dilakukan dan sangat jarang terjadi.
- ensefalitis
- penurunan koordinasi otot.

Imunisasi varisella sebaiknya tidak diberikan kepada:
- Wanita hamil atau wanita menyusui
- Anak-anak atau orang dewasa yang memiliki sistem kekebalan yang lemah atau yang memiliki riwayat keluarga dengan kelainan imunosupresif bawaan
- Anak-anak atau orang dewasa yang alergi terhadap antibiotik neomisin atau gelatin karena vaksin mengandung sejumlah kecil kedua bahan tersebut
- Anak-anak atau orang dewasa yang menderita penyakit serius, kanker atau gangguan sistem kekebalan tubuh (misalnya AIDS)
- Anak-anak atau orang dewasa yang sedang mengkonsumsi kortikosteroid
- Setiap orang yang baru saja menjalani transfusi darah atau komponen darah lainnya
- Anak-anak atau orang dewasa yang 3-6 bulan yang lalu menerima suntikan immunoglobulin.


Imunisasi HBV

Imunisasi HBV memberikan kekebalan terhadap hepatitis B.
Hepatitis B adalah suatu infeksi hati yang bisa menyebabkan kanker hati dan kematian.

Dosis pertama diberikan segera setelah bayi lahir atau jika ibunya memiliki HBsAg negatif, bisa diberikan pada saat bayi berumur 2 bulan.
Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 1 bulan antara suntikan HBV I dengan HBV II, serta selang waktu 5 bulan antara suntikan HBV II dengan HBV III. Imunisasi ulangan diberikan 5 tahun setelah suntikan HBV III. Sebelum memberikan imunisasi ulangan dianjurkan untuk memeriksa kadar HBsAg.
Vaksin disuntikkan pada otot lengan atau paha.

Kepada bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, diberikan vaksin HBV pada lengan kiri dan 0,5 mL HBIG (hepatitis B immune globulin) pada lengan kanan, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada saat anak berumur 1-2 bulan, dosis ketiga diberikan pada saat anak berumur 6 bulan.
Kepada bayi yang lahir dari ibu yang status HBsAgnya tidak diketahui, diberikan HBV I dalam waktu 12 jam setelah lahir. Pada saat persalinan, contoh darah ibu diambil untuk menentukan status HBsAgnya; jika positif, maka segera diberikan HBIG (sebelum bayi berumur lebih dari 1 minggu).

Pemberian imunisasi kepada anak yang sakit berat sebaiknya ditunda sampai anak benar-benar pulih.
Vaksin HBV dapat diberikan kepada ibu hamil.
Efek samping dari vaksin HBV adalah efek lokal (nyeri di tempat suntikan) dan sistemis (demam ringan, lesu, perasaan tidak enak pada saluran pencernaan), yang akan hilang dalam beberapa hari.


Imunisasi Pneumokokus Konjugata

Imunisasi pneumokokus konjugata melindungi anak terhadap sejenis bakteri yang sering menyebabkan infeksi telinga. Bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius, seperti meningitis dan bakteremia (infeksi darah).

Kepada bayi dan balita diberikan 4 dosis vaksin.
Vaksin ini juga dapat digunakan pada anak-anak yang lebih besar yang memiliki resiko terhadap terjadinya infeksi pneumokokus.

Penyakit Hipertiroid

HIPERTIROIDISME
Penyakit hipertiroid adalah penyakit akibat gangguan produksi hormon, pada penyakit ini perlu asuhan keperawatan pada hipertiroidisme atau askep hipertiroid yang komprehensif karena disamping faktor efek penyakit itu sendiri biasanya terdapat pula kondisi stress psikologi.

Definisi

Hipertiroid adalah suatu ketidakseimbangan metabolik yang merupakan akibat dari produksi hormon tiroid yang berlebihan. (Dongoes E, Marilynn , 2000 hal 708)

Hipertiroid adalah suatu kondisi dimana suatu kelenjar tiroid yang terlalu aktif menghasilkan suatu jumlah yang berlebihan dari hormon-hormon tiroid yang beredar dalam darah. Thyrotoxicosis adalah suatu kondisi keracunan yang disebabkan oleh suatu kelebihan hormon-hormon tiroid dari penyebab mana saja. Thyrotoxicosis dapat disebabkan oleh suatu pemasukan yang berlebihan dari hormon-hormon tiroid atau oleh produksi hormon-hormon tiroid yang berlebihan oleh kelenjar tiroid.
Etiologi

Penyebab-penyebabnya antara lain:
1. Herediter
2. Toksik Adenoma
3. Tumor kelenjar hipofise
4. Tiroiditis sub akut
5. Kanker tiroid
6. Terapi hormon tiroid berlebihan
7. Pemasukkan yodium yang berlebihan
8. Penyakit Graves
Faktor pencetus penyakit Grave adalah:
• Stres
• Merokok
• Radiasi pada leher
• Obat-obatan dan
• Organisme-organisme yang menyebabkan infeksi seperti virus-virus.
9. Pengeluaran yang abnormal dari TSH

Faktor resiko

Terjadi lebih banyak pada wanita dari pada laki-laki
Pada usia lebih dari 50 tahun
Post trauma emosional
Peningkatan stress
(Long C, Barbara 1996 hal 109)

Manifestasi klinis

- Apatis
- Mudah lelah
- Kelemahan otot
- Mual
- Muntah
- Gemetaran
- Kulit lembab
- Berat badan turun
- Takikardi
- Mata melotot, kedipan mata berkurang
- Keringat berlebihan
- Ketidaktoleranan panas
- Pergerakan-pergerakan usus besar yang meningkat
- Kegelisahan; agitasi
- Konsentrasi yang berkurang
- Aliran menstrual yang tidak teratur dan sedikit



Pemeriksaan Penunjang

Tes ambilan RAI: meningkat pada penyakit graves dan toksik goiter noduler, menurun pada tiriditis

 T3 dan T4 serum : meningkat
 T3 dan T4 bebas serum : meningkat
 TSH: tertekan dan tidak berespon pada TRH ( tiroid releasing hormon)
 Tiroglobulin : meningkat
 Stimulasi tiroid 131 : dikatakan hipertiroid jika TRH dari tidak ada sampai meningkat setelah pemberian TRH
 Ambilan tiroid 131 : meningkat
 Ikatan protein sodium : meningkat
 Gula darah : meningkat ( kerusakan adrenal)
 Kortisol plasma : turun ( menurunnya pengeluaran oleh adrenal)
 Pemerksaan fungsi hepar : abnormal
 Elektrolit : hponatremi akibat respon adrenal atau efe delusi terapi cairan, hipokalemia akibat dari deuresis dan kehilangan dari GI
 Kateklamin serum : menurun
 kreatinin urin : meningkat
 EKG : Fibrilasi atrium,waktu sistolik memendek kardiomegali

(DoengesE, Marilynn,2000 hal 711)

Penatalaksanaan

1. Pengobatan jangka panjang dengan obat-obat antitiroid seperti propiltiourasil atau metimazol yang diberikan paling sedikit selama satu tahun. Obat – obat ini menghambat sintesis dan pelepasan tiroksin.
2. Pembedahan tiroideksomi sub total sesudah terapi propiltiourasil prabedah
3. Pengobatan dengan yodium radioaktif
(Price A, Sylvia, 1995, hal 1076)

KOMPLIKASI

* Penyakit jantung
* Gagal ginjal kronis
* Fraktur
* Krisis tiroid
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 1319)

Efusi Pleura

Pengertian Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat pengumpulan cairan dalam pleura brupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat cairan berlebihan dirongga pleura, jika kondisi ini dibiarkan akan membahayakan jiwa penderitanya (Guyton dkk, 2007) .
Efusi pleura adalah penumpukan cairan dalam rongga pleura, yaitu ruang diantara lapisan membrane yang mengelilingi setiap paru dengan lapisan dinding dada.
Efusi pleura adalah penumpukan cairan didalam ruang pleura. Proses penyakit primer jaringan terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. (Diane. B. C., 2000)

Penyebab Efusi Pleura
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi lagi menjadi transudat, eksudat, dan hemorogi.
Transulat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri), sindrom nefrotik, asistes (oleh karena sirosis hepatic), sindrom vena cava superior, tumor, dan sindrom meigs
Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, Pneumonia, Tumor, Infark paru, Radiasi dan penyakit kolagen.
Efusi Hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, dan tuberculosis.

Pemeriksaan Diagnostik
Pemerikasaan Rasiologi
Pada fluoroskopi, maupun foto thoraks PA cairan yang kurang dari 300cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukan kosto frenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun cairan pleura dari 300cc, frenicocostalis tampak tumpul dan diafragma kelihatan meniggi. Untuk memastikannya, perlu dilakuakn dengan foto thoraks lateral dari sisi yang sakit (lateral dakunitus). Foto ini akan memberi hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit.
Pemeriksaan radiology foto thoraks juga diperlukan sebagai monitor atas intervensi yang telah diberikan dimana keadaan keluhan klinis yang membaik dapat lebih dipastikan dengan penunjang pemeriksa foto thorak.
Biopsi pleura, biopsi ini berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura melalui biopsi jalur perkutaneus. Biopsi ini dilakukan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor pleura).
Pengukuran fungsi paru (spirometer), penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke kapasitas total paru, dan penyakit pleura pada tuberculosis kronis tahap lanjut.
Pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjut. Analisis cairan pleura dapat dinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi pleura. Pemeriksaan cairan pleura hasil thorakosentesis secara makroskopi biasanya dapat berupa cairan hemorogi, eksudat, dan transudat.
Haemoragik pleura efusion, terutama terjadi pada keadaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalhuminemia, dan perikarditis konsreikrif clear transudate pleura efusion, sering terjadi pada klien dengan keganasan ekstrapulmoner.

Penatalaksanaan
Pengelolaan efusi pleura ditujukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengosongan cairan (thorakosentesis). Indikasi untuk melakukan thorakosentesis adalah menghilangkan sesak nafas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura, bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal, bila terjadi reakumulasi cairan.
Pengambilan pertama cairan pleura, tidak boleh lebih dari 1000cc, karena pengambilan ciran pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan edema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak. Kerugian thorakosentesis adalah dapat menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan pleura, dapat menimbulkan infeksi de rongga pleura, dapat terjadi pneumothoraks.

Water Seal Drainage (WSD)
Pengertian WSD
WSD adalah tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks, dan mediastinium dengan menggunakan pipa penghubung.
WSD adalah tindakan mengambil cairan dengan viskositas yang tinggi ataupun darah, nanah, maupun udara pada pneumotoraks dan menghubungkannya dengan Water Seal Drainage.
Tujuan Pemasangan WSD
Untuk mengeluarkan udara, cairan atau darah dari rongga pleura, untuk mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura, untuk mengembangkan kembali paru yang kolap dan kolap sebagian, dan untuk mencegah reflux drainase kembali kedalam rongga dada.
Jenis-Jenis WSD
Satu botol, sistem ini terdiri dari satu botol dengan penutup segel. Penutup mempunyai dua lobang, satu untuk ventilasi udara dan lainnya memungkinkan selang masuk hamper ke dasar botol.
Keuntungannya adalah penyusunannya sederhana, mudah untuk pasien yang berjalan.
Kerugiannya adalah saat drainase dada mengisi botol lebih banyak kekuatan yang diperlukan, untuk terjadinya aliran tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan botol, campuran darah dan drainase menimbulkan busa dalam botol yang membatasi garis pengukuran drainase.
Dua botol, pada sistem dua botol, botol pertama adalah sebagai botol penampungan dan yang kedua bekerja sebagai water seal. Pada sistem dua botol, penghisapan dapat dilakukan pada segala botol dalam air dengan menghubungkannya ke ventilasi udara.
Keuntungannya adalah mempertahankan water seal pada tingkat konsatan, memungkinkan obsevasi dan pengukuran drainage yang lebih baik.
Kerugiannya adalah menambah areal mati pada sistem drainage yang potensial untuk masuk ke dalam are pleura, untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan botol, dan mempunyai batas kelebihan kapasitas aliran udar pda kebocoran udara.
Tiga botol, pada sistem tiga botol, botol control penghisap ditambahkan ke sistem dua botol. Botol ketiga disusun mirip dengan segel dalam air. Pada sistem ini yang terpenting adalah kedalam selang dibawah air pada botol keriga dan bukan jumlah penghisap di dinding yang menentukan jumlah penghisap yang diberikan pada selang dada. Keuntungannya adalah : sistem paling aman untuk mengatur pengisapan. Kerugiannya adalah : lebih kompleks, lebih banyak kesempatan untuk terjadinya kesalahan dalam perakitan dan pemeliharaa, sulit dan kaku untuk bergerak/ambulansi.
Tempat Pemasangan
Adapun tempat pemasangan WSD adalah: apical adalah letak selang dada pada interkosta ke III di mid klavikula. Dimasukkan secara antera lateral dan berfungsi untuk mengeluarkan udara dan pleura. Basal adalah letak selang dada pada interkosta V – VI atau VIII – IX di mid aksiller yang berfungsi untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura.
Perawatan Pemasangan WSD
Perawatan pra bedah adalah menentukan pengetahuan pasien mengenai prosedur, menerangkan tindakan-tindakan pasca bedah termasuk letak incise, oksigen dan pipa dada, posisi tubuh pada saat tindakan dan selama terpasangnya WSD jangan sampai rata/miring yang akan mempengaruhi tekanan, memberikan kesempatan bagi pasien untuk bertanya atau mengemukakan keprihatinannya mengenai diagnosa dan hasil pembedahan, dan mengajari pasien bagaimana cara batuk dan menerangkan batuk serta pernafasan dalam yang rutin pasca bedah, mengajari pasien latihan lengan dan menerangkan hasil yang diharapkan pada pasca bedah setelah melakukan latihan lengan.
Perawatan pasca bedah, perawatan setelah prosedur pemasangan WSD antara lain: adalah perhatikan undulasi pada selang WSD, observasi tanda-tanda vital: pernafasan, nadi, setiap 15 menit pada 1 jam pertama, monitor pendarahan atau empisema subkutan pada luka operasi, menganjurkan pasien untuk memegang selang apabila akan mengubah posisi, beri tanda pada batas cairan setiap bari, catat tanggal dan waktu.
Ganti botol WSD setiap tiga hari bila sudah penuh, catat jumlah cairan yang dibuang, lakukan pemijatan pada selang untuk melancarkan aliran, obsrvasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, cynosis, empisema, anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bombing cara batuk yang efektif dan botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh.

welcome

Selamat Datang di Handika Manurung Blogger